Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Singkat Keris DI Jogjakarta

Keris adalah senjata tikam golongan belati berujung runcing dan tajam. pada kedua sisinya, dengan banyak fungsi budaya yang dikenal asli Nusantara bisa di sebut Kerambit, bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudadh dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris dibagian pangkalan yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak diantarannya memiliki sebagian senjata dalam duel atau peperangan sekaligus sebagi benda pelengkap atau aksesoris sesajian. Pada penggunaan masa kini keris lebih merupakan benda (ageman) dalam berbusana, memeiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari estetiknya.

Beberapa istilah dibagain ini diambil dari tradisi Jawa semata karena rujukan yang tersedia. Keris atau dhuwung terdiri dari tigag bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja (penopang), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. HUlu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinnya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka. 

Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifiikasi suatua keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual sselain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dlam morfologi keris adalah kelokan (luk), orenamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris. Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitakan dengan periodisasi sejarah maupujn geografoi, serta yahng membuatnya.

Gambar keris baranggah ladrang Yogyakarta
Gambar keris baranggah ladrang Yogyakarta sumber pusakakeriscom

Penggunaan keris sendiri pada masyarakat penghuni wilaya yang pernah terpengaruh oleh Majapahit serta Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatra, Pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan Mindanao. Keris mindanao dikenal sebagai kalis. Keris disetiap daerah memiliki ciri khas sendiri-sendiri dalam penapilan fungsi teknik garapan serta peristilahan.

Fungsi keris berkembang lebih dari sekedar senjata. para sultan mempercayakan keris meiliknya kepada wakil-wakil mereka, sebagai bukti kewibawaan yang diwakilkan pada mereka. Keris tersebut dianggapa sebagai perwakilan dari kehadiran pemiliknya. Bahkan ditemui juga keris yang dugunakan untuk mewakili pemiliknya dalam ucapan pernikahan. keris juga dugunakan sbagai pusaka keluarga, simbol status, ataupun simbol yang diturunkan dari bapak ke anak sebagia perwujudan keberadan satu garis keturunan.

Contoh keris Tosan Aji atau Besi Aji maknanya seperti dengan namanya besi yang selayaknya diaji-aji atau nilai kehormatannya. Maksud dari disini bukan berarti harus disemba tetapi sselayaknya dihormati karena merupakan warisan budaya nenek moyang kita yang bernilai tinggi. Bila kita mengetahui bahwa pada saat pembuatannya para empu tidak hanya menciptakan suatu hasil karyanya yang berupa senjata untuk membunuh atau menyakiti tetapi mempunyai tujuan yang lain seperti untuk aksesoris dan lain sebagainya. Ini semua dapat dilihat dari proses pembuatnya yang hausa menempuh laku tapa dan mencari bahan baku yang prosesnya cukup lama. Posisinya sebagai pusaka tosan aji mendapat perlakuan khusus mulai dari proses membuata dan meneyimpannya membuka dari sarung sampai dengan merawatnya, hal ini sedah merpakan seni budaya sendiri. 

Gambar keris carita keprabon
Gambar keris carita keprabon sumber indomagic.com 

Perbedaan besar antara keris Solo dan Jogja, dapat dilihat daari sarung penyimpanannya atau bisa disebut warangka. Warangka pada bagian pangkal keris Solo cenderung lancip, sementara Jogja cenderung tumpul. Ornamen ukiran keris Jogja lebih sederhana, sedangkan keris Solo lebih beermotif dan halus. Keris gaya Solo ladrang sedangakan Joja bernama Branggah. Branggah mempunyai bilah sarung keris yang lebih ramping dan sederhana tanpa banyak hiasan karena mengikuti gaya senopaten dan mataram sultan Agung. Sementara keris Solo pada bilahnya lebih banyak ornamen dan bentuk atau motif mengikuti cita arasa Madura dari Mpu Brojoguno. Ukiran keris Solo bertekstur lebih halus daripada Jogja. Juga ada perbedaan dari gagang keris, luk dan lain-lain masing-masing memiliki filosofi tersendiri.

Benda pusaka ini merupakan sebuah tanda persaudaraan dan cinta kasih kepada penceramah asal Riau ini. Diperkirakan keris ini dibuat sekitar tahun (1613–1645) masehi pada zaman Mataram Islam atau Sultan Agung. Kejayaan  keris terejadi pada era Majapahit. Penggunaan sebagian senjata berkurang  beersama dengan surutnya Majapahit, yaitu pada saat kerajaan Demak mulai menguasi dan memgembangakan teknologi senjata api berupa meriam. Teknologi tersebut diperkirakan oleh prajurit Portugis yang membelot saat Adipati Unus diperintahkan mengusir Pertugis di Malaka pada tahun 1511. Seiring berjalannya waktu kemajuan teknologi maka keris sebagai senjata perang  dan semakin di tinggalkan. Namun demikian tidaka berarti masyarakat Jawa benar-benar meninggalkan keris sebagai bagian budaya dan warisan nenek moyanhg mereka. Pada awal abada ke-16, Tome Pires, seorang penjelajah dari Protugis menulis kesaksiannya saat mengunjungi pulau Jawa setiap orang Jawa, kaya miskin yang berumur antara dua belas dan delapan puluh tahun yang berani keluar rumah tanpa keris. 

Gambar keris tilam sari keris simbol filosofi Jawa sumber superradio.id

Dalam masa peperangn pun, keris mesti mempunyai fungsi utama sebagai senjata. Selam berlangsungnya Perang Jawa (1825-1830), Peperangan Diponegoro menggenakan keris uang bernama Kiai Ageng Bondoyudo (Sri Tanpa Senjata). Keris yang funungsinya sebagai jimat kini dibuat dari hasil peleburan tiga buah pusaka, Cundrik kiai Sarutomo, Lembbing Kiai Barutubo dan keeereis Kiai Abijoyo. Dari zaman ke zaman keris atau tereius menjadi bagian dari kebudayaan Jawa. Bahkan keris yang dikenal oleh bangsa asing sebagai belati asimetris ini telah di akui UNESCO sebagai warisan budaya dan peningalan nenek moyang dan di akui dunia sejak tahun 2005. Sebagai sebuah benda logam, keris memiliki begitu banyak aspek yang bisa di kaji. Mulai dari pergeseran, ragam bentuk dengan tingkat estetika yang di tampilkan dengan nilai peninggalan sejarah yang terkandung, hingga aspek spiritual yang menyertakan.

Upaya memahami keris memang tidak dapat dilakukan hanya dengan memandang sebagai senjata saja apalagi dalam aspek mistis semata. Oleh karena itu diperlukan sikap mental yang berani merumuskan penalaran-penalaran. keris konon sebagai lambang status kebangsawanan, kini dihadapn oleh budaya alternatif massa sebagai salah satu alternatif pelestarian. fenomena kerisa di zaman modern saat ini perkembangannya cukup menggembuirakan. Peminat dan pemerhati ekris mulai bergeser dari sesepuh kepada generasi muda, mahasiswa atau pemuda. Nilai filosofi adanya keris manusia hidup harus luwes tidak semaunya sendiri. Nilai historis dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tempa besi yang dimiliki perbedaan nenek moyang bangsa atau leluhur. Nilai ekonomi koleksi yang semakin lama semakin langka akan semakin tingi hargannya, juga mengatasi pengangguran bagi perajin keris. Selain itu Nilai Psikologi, pembangkit kepercayaan diri sendiri dan semangat keyakinan untuk hidup.

Gambar keris sebagai simbol dan kekuasaan sumber sobatjogja.com

Demikian ringkasn cerita mengenai sejarah singkat keris sebagai warisan budaya Indonesia, semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "Sejarah Singkat Keris DI Jogjakarta"