Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masjid Jogokariyan, Masjid Kampung Bersejarah Yang Mendunia

Masjid Jogokariyan merupakan salah satu masjid bersejarah dan dikenal dunia yang dibangun pada tahun 1966 dan mulai digunakan pada 1967. Nama masjid diambil dari nama kampung tempat masjid itu berdiri, Kampung Jogokariyan. Tepatnya ada di Jalan Jogokariyan 36, Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Lokasi masjid ini juga berdekatan dengan Pondok Pesantren Krapyak yang sama-sama memiliki nilai sejarah panjang, terutama jika dikaitkan dengan keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Masjid Jogokariyan, sumber ig @jogjastudent

Sejarah 

Sebelum Tahun 1967, di kampung Jogokariyan belum ada masjid. Kegiatan keagamaan dan dakwah berpusat di sebuah langgar kecil di pojok kampung terletak di RT 42 RW 11 (sekarang menjadi rumah keluarga Bp. Drs. Sugeng Dahlan, selatan rumah Almarhum Bp. H. Basyir Widyahadi). Langgar berukuran 3×4 meter persgi dengan lantai berundak tinggi ini Ramadhan saja tidak pernah terisi. Maklum masyarakat Jogokariyan pada saat itu umumnya kalangan “ABANGAN” karena kultur Abdi dalam prajurit keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang lebih ngugemi “Tradisi Kejawen” dari pada kultur pada kultur keIslaman.

Kampung Jogokariyan yang dibuka sejak masa HB IV, setelah penduduk ndalem Beteng Baluwerti Keraton telah sesak, makam Bergodo-Bergodo prajurit Kesatuan dipindah keluar beteng bersama keluarganya dan Abdi Dalem Prajurit dari Kesatuan “Jogokariyo” dipindah di selatan benteng, di utara Panggung Krapyak atau Kandang Menjangan, sehingga tempat tinggal/Palungguhan Prajurit ini sesuai dengan Toponemnya dikenal dengan nama “Kampung Jogokariyan”.

Pada masa HB ke VIII ada perubahan peran prajurit di Keraton Ngayogyakarta yang semula adalah Prajurit Perang hanya menjadi prajurit upacara dan dipersempit yang semula jumlahnya 750 orang hanya menjadi 75 orang saja. Maka para abdi dalam prajurit banyak yang kehilangan jabatan dan pekerjaan.
Kebiasaan hidup mapan sebagai Abdi Dalem dengan senang judi, mabuk bahkan nyeret (Nyandu) harus berubah menjadi petani karena tidak lagi menerima gaji, tetapi diberi tanah Palungguh (sawah) dan Pekarangan, tidak sedikit yang tidak bisa menyesuaikan diri sehingga tanah pekarangan banyak yang jatuh dijual kepada Pengusaha Batik dan Tenun dari Kampung Jogokariyan.

Terjadilah perubahan sosial ekonomi yang cukup membuat syok warga. Kampung Jogokariyan mulai berubah jadi kampung batik dan tenun, generasi anak-anak Abdi Dalem terpaksa bekerja jadi buruh di pabrik-pabrik Tenun dan Batik.

Masa-masa kejayaan Batik dan Tenun, merupakan masa-masa buram bagi keturunan Abdi Dalem prajurit Jogokariyan yang tidak bisa menyesuaikan diri, mereka penduduk asli yang sudah menjadi miskin di tengah kemakmuran pendatang, padahal mereka punya gelar bangsawan, Raden atau Raden Mas. Kesenjangan sosial ekonomi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan sentimen kelas buruh dan majikan.

Maka gerakan PKI disambut antusias oleh warga Jogokariyan yang termarjinalisasi ini, sehingga di Jogokariyan menjadi basis PKI yang didominasi warga miskin dan buruh. Para juragan yang berasal dari “Abangan” aktif di PNI dan beberapa pendatang dari Karangkajen menjadi pendukung Masyumi (Jumlahnya minoritas). Pada saat meletus G30S PKI 1965, banyak warga yang diciduk (ditangkap dan dipenjara) sebagai tahanan politik. Alhamdulillah di masa-masa kritis tersebut Masjid Jogokariyan dibangun dan menjadi alat perekat untuk melakukan perubahan sosial menjadi masyarakat Jogokariyan yang berkultur Islam.

Masjid Jogokariyan tempo dulu, sumber : http://masjidjogokariyan.com/

Masjid Jogokariyan telah benar-benar melaksanakan fungsi sebagai agen perubahan. Jogokariyan yang dulu “Abangan” Komunis kini mejadi masyarakat Islami melalui dakwah berbasis Masjid.

Asal-Usul Nama “Jogokariyan”

Nama “Masjid Jogokariyan” dipilih oleh para pendiri dan perintis dakwah karena beberapa alasan. Penelitan yang ada, mengungkapkan bahwa alasan-alasan pemilihan nama tersebut antara lain:

1. Berpegang pada Sunnah Rasulullah SAW, ketika memberi nama pada masjid, hal yang Beliau lakukan adalah membubuhkan nama kampung atau lokasi keberadaan masjid tersebut. Sebagai misal, Masjid Quba di Madinah yang berada di Kampung Quba. Demikian halnya dengan Masjid Bani Salamah yang berada di Kampung Bani Salamah. Bahkan, akibat adanya peralihan arah kiblat, masjid tersebut juga berganti nama menjadi Kampung Kiblatain

2. Para pendiri Masjid Jogokariyan berharap masyarakat lebih mudah menemukan lokasi atau keberadaan masjid itu. Pemberian nama “Jogokariyan” sebagaimana nama kampungnya secara otomatis akan langsung mengasosiasikan masjid tersebut dengan wilayah teritorialnya. Dengan demikian, masyarakat akan lebih mudah untuk menemukan lokasi dakwah Masjid Jogokariyan.

Suasana malam Masjid Jogokariyan, sumber ig @masjidjogokariyan

3. Pemilihan nama “Jogokariyan” diyakini akan mampu merekatkan dan mempersatukan masyarakat Jogokariyan yang sebelumnya terpecah belah karena perbedaan aliran dan gerakan politik. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, masyarakat Jogokariyan pernah terlibat dalam gejolak politik di masa Demokrasi liberal yang puncaknya adalah tragedi 30 September 1965. Pemberian nama “Jogokariyan” dimaksudkan untuk menghancurkan perbedaan pandangan tersebut dan menyatukan penduduk berbasis kultur kampung.

Program

Masjid Jogokariyan merancang beberapa program dengan konsep manajemen masjid. Program-program tersebut dijalankan oleh ta’mir sebagai langkah strategis dan praktis untuk menjadikan Masjid Jogokariyan sebagai pusat peradaban umat. Beberapa penjelasan detail mengenai program-program yang ada antara lain:

1. Pemetaan Jamaah

Takmir dan pengurus Masjid Jogokariyan memiliki peta dakwah yang jelas, wilayah dakwah yang nyata, dan jamaah yang terdata. Masjid Jogokariyan menginisiasi sensus masjid yang ditujukan untuk mengetahui data-data jamaah secara detail, mencakup potensi dan kebutuhan, peluang dan tantangan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, serta kekuatan dan kelemahan. Pendataan itu dimaksudkan sebagai database dan peta dakwah agar kegiatan masjid bisa lebih komprehensif. Database yang mereka miliki tidak hanya menyoal hal-hal semacam itu, melainkan juga menyoal siapa saja jamaah yang sudah menunaikan shalat dan yang belum, siapa jamaah yang shalat berjamaah ke masjid dan yang tidak, siapa jamaah yang berqurban dan berzakat di Baitul Maal Masjid Jogokariyan, serta siapa saja jama’ah yang aktif mengikuti kegiatan di masjid, seperti kajian, dan yang tidak.

Peta Dakwah Masjid Jogokariyan, sumber : http://masjidjogokariyan.com/

Di dalam peta data yang mereka miliki, diperlihatkan peta rumah penduduk Kampung Jogokariyan yang sekaligus menjaid jamaah masjid tersebut. Di dalam peta tergambar beberapa simbol seperti Kabah (bagi penduduk yang telah berhaji), unta (bagi yang telah berqurban), koin (bagi yang telah berzakat), peci, dan lain-lain. Peta tersebut juga disimbolkan dengan berbagai warna yang berwarna-warni seperti hijau, hijau muda, kuning, dan seterusnya.

2. Undangan Shalat Subuh

Dalam rangka meningkatkan niat jamaah untuk beribadah subuh berjamaah di masjid, ta’mir Masjid Jogokariyan memiliki cara tersendiri. Mereka membuat undangan khusus kepada seluruh jama’ah yang disertai dengan nama lengkap mereka. Undangan tersebut berbunyi, “Mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Saudara .... dalam acara Salat Subuh Berjama’ah, besok pukul 04.15 WIB di Masjid Jogokariyan.”. Di dalam undangan tersebut juga disertai hadist-hadist mengenai pentingnya beribadah Subuh berjamaah di masjid. Undangan semacam itu terlihat sangat eksklusif dan terbukti mampu meningkatkan jumlah jamaah shalat subuh berjamaah di Masjid Jogokariyan.

3. Gerakan Sisa Infak Nol Rupiah

Berbeda dengan masjid pada umumnya, Masjid Jogokariyan sangat berupaya agar saldo infak yang diberikan jamaah habis setiap pekan alias nol rupiah, kecuali apabila ada perencanaan pembangunan atau renovasi tertentu. Para pengurus berpendapat bahwa infak jamaah bukan seharusnya disimpan di dalam rekening, melainkan harus dipergunakan untuk memaslahatan umat agar dapat memiliki nilai guna. Pemanfaatan uang infak pun bermacam-macam, selain untuk operasional masjid, juga digunakan untuk kebutuhan mendesak jamaah atau warga yang tinggal di sekitar masjid. Sebagai misal, apabila ada jamaah yang anaknya perlu membayar uang sekolah, berobat ke rumah sakit, dan lain-lain. Menurut mereka, sangat tidak etis ketika saldo rekening bank masjid menumpuk tetapi disekeliling mereka masih banyak warga yang mersakan kesulitan hidup.

Demikian ulasan mengenai masjid jogokariyan, masjid kampung bersejarah yang dikenal dunia. Masjid dengan sistem manajemen yang baik ini layak menjadi percontohan di Indonesia bahkan di dunia. Bagi yang mau berkunjung ke Jogja, jangan lupa mampir ke Masjid ini ya. Simak juga ulasan lainnya mengenai tips berwisata ke Jogja bagi keluarga besar. Semoga informasi ini bermanfaat. 
.
Abu Ziyad
Abu Ziyad Wisdom : "Hamba yang banyak dosa, jika kehilangan b akan jadi hama di dunia."

Posting Komentar untuk "Masjid Jogokariyan, Masjid Kampung Bersejarah Yang Mendunia"