Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Singkat Kyai Jejer Wnokromo Jejeran Pleret

Makam Mbah Jejer berada di kompleks Pondok Pesantren Miftahul Ullum II, Jejeran II, Wonokromo. Guru Sinuwun Sultan Agung Hanyakrakusuma ini menempati cungkup berukuran 4X5 mdi sebelah utara-barat pondook pesantren. Tanah lapang mungil tempat anak-anak sering bermain bola berada tepat di selatan gapura menuju makamnya yang sempat rusak pada gempa 27 Mei 2006.

Dibandingkan makam-makam tua lain di sisi barat Masjid Mi'rajul Muttaqinallah yang merupakan salah-satu masjid kagungan dalem, makam Mbah Jejer termasuk yang paling tinggi. Jiratnya terdiri dari batu, mungkin andesit, yang tersusun hingga enam tingkat setinggi 75 cm. Lalu batu-batu itu dipuncaki oleh nisan kepala dan kaki yang telah patah. Ragis hias di makam ini tidak bersemak seperti ragi hias di makam Mbah Kriyan. Jiratnya kira-kira sepanjang 150 cm dan lebar sekitar 65 cm. Perkampungan makam ini dipenduduki oleh makam-makam lain. Di antaranya Sayyid Abubakar Ba'abud dan lainnya.

Di siai timur makam Mbah Jejer, dalam cungkup yang sama, ada makam bernisan kepala-kaki tapi tidak berjirat. Ragi hias di nisan itu bercorak tumpu atau segitiga sama-sisi. Ragi ini, tumpul bila dipahat di makam, maka ia merupakan ungkapan doa penghindaran dari azab kubur. Sedangkan bila likis di kain batik, maka menjadi doa tolak balak.

Gambar Masjid Pathok Negoro Wonokromo Pleret
Gambar Masjid Pathok Negoro Wonokromo Pleret sumber google maps 

Ditinjau dari silsilah, Mbah Jejer bersambung-nasab pada Sunan Ampel. saebagai manusia sehari-hari, Mbah Jejer dikenal sebagai pemangku ilmu-ilmu kadig dayaan. Santri-santri berdarah kejadugan bisa bertawassul kepada Mbah Jejer yang mendapat nama-besar (jeneng) Sunan Surapraba. Jeneng ini, Sunan Surapraba, menunjukkan peta khazanah kewilayahannya sebagai penerus adat padepokan Prabu Satmata atau madrasah Giri. Artinya, Mbah Jejer memiliki wewenang untuk meneruskan adat-budaya men-jangka peradaban.

Harus digaris bawah di sini bahwa jangka adalah derajat tinggi dalam susunan ilmu pengetahuan di Jawa. Pertama, Wahyu panjangka (jangka), yang dapat diungkapkan dengan pernyataan: belum tentu benar, tidak mungkin salah. Kedua, wahyu panyakra (cakra), yang kualitasnya dapat di ungkapkan dengana pernyataan: belum tentu benar, belum tentu salah. Ketiga, wahyu panyadra (candra), yang kualitasnya dapat diungkapkan dengan pernyataan: belum tentu benar, mungkin bisa salah. Keempat, wahyu saudarsana (sudarsana), yang kualitasnya dapat diungkapkan dengan pernyataan: belim tentu bena, sangat bisa salah. Kelima, pengangen-angen atau tashawwar (citra) dalam bahasa arab, yang kualitasnya dapat diungkapapkan dengan pernyataan: pasti sangat bisa salah, pasti belum tentu benar.

Sesangkan "Kyai Jejer" adalah jejelukannya. Sekedaar kabar selipan lebih nyaman mengetahui jejeluk atau jeneng setiap sosok ingkang sumare (sahibul maqam) ketimbang nama kexcilnya (asma). Sebab jejeluk dan terlebih lagi: jeneng (nama ruh), bisa menggambarkan pada nasab, kepakaran dalam ilmu tertentu, dan bahkan kewilayahan rohani sang tokoh. Jejeluk adalah pintu masuk untuk mengetahui siapa jatidiri sosok sahibil maqam. Karena itu, nama  asli bagi saya terlalu penting. Dari jeneng dan jeluk, ada banyak pengetahuan yang bisa di jaring.

Gambaar Mimbar di Masjid Pathok Negoro Wonokromo
Gambaar Mimbar di Masjid Pathok Negoro Wonokromo sumber google maps

Mbah Jejer Asal mula jejeluk itu menurut cerita warga setempat disebutkan karena Mbah Jejer  dikatakan kapundut atau wafat dalam keadaan berdiri tegaka (ngadeg nggejejer). Hanya saja, bila dipandang dari sudut alam pikiran Jawa: dunia wayang yang dimasyarakatkan oleh Sunan Kalijaga dan wali-wali lainnya, "jejer(an)" merupakan fase pembuka cerita atau babak pertama dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Ia tahap kelahiran seorang bayi ke dunia, ke alam padhang. Dalam pertuntunan wayang, tahap ini berbentuk permulaan amal ketika sang dalang mencabut dan menggerakkan wayang lakon. Kemudian ia menempatkan wayang kayon itu di ujung akhir wayang simpangan yang tertera di sebelah kanan dan kiri dalang. Di situlah geraka kehidupan wayang di dalam alam pekeliran.

Penempatan wyang di pakeliran mengawali adegan jejeran. Setelah itu, sang dalang akan menjantur atau membaca kabar singkat perihal kerajaan yang menjadi pembuka cerita berikut raja, para ppunggawa, dan watak-watak mereka secara singkat. Dari sini, tahapan ini kelak disebut: jaturan. APa hubungan antara "Jejeran" dan "Jaturan"? Keduanya tidaka dapat dipisah. Bila Jejeran adalah kelahiran manusia, maka janturan adalah filosofi atau makna kelahiran itu.

Dalam dunia nyata, para wali tanah Jawa mengejawantahkan tahap" jejeran" ini dengan laku ngaji ilmu-ilmu agama dan ngaji-laku ilmu-ilmu akhlak. Di sinilah peran kesejarahan Mbah Jejer, yaitu menjadi guru bagi para santri, termasuk Sinuwun Sultan Agung. Kelak, desa Jejeran yang wilayahnya belum tersekat-sekat seperti hari ini sampai masa sekarang dipenuhi oleh banyak pesantren dan para kyai. DI desa inilah satri-santri berusaha untuk njejer padhita dengan mengkaji kitab-kitab: al-quran, ulumul quran, fiqih, ushul fiqih, akidah, tarikh, tasawuf, hadits, dan ulumuddin lainnya. Biar mereka benar-benar lahir di alam padhang.

Gambar Pasarean Kyai Jejer di Wonokromo
Gambar Pasarean Kyai Jejer sumber google maps

Di Jawa masa itu dan sebelummnya, toponimi atau penanaman wilayah pemukiman memang disarankan pada tahap-tahap laku hidup manusia. Dengan demikian, njejer atau nyantri adalah tahapa mula-buka ketika seseorang manusia dilahirkan. Ia tidak boleh berhenti disitu. Di saat njejer, ia juga harus njantur, yaitu mencari makna atau werdi dari penjejerannya.

Ziarah ke makam-makam adalah jalan untuk menangguk butir werdi atau makna itu. Makna lungid atau makna tingkat ketujuh hanya bisa dilimpahkan kepada orang-orang yang berjalan menuju kematian, yang satu di antaarannya adalah: rajin mengarah ke kubran dan bahkan memgalami "mati" do kedalaman tanah (idfin wujudak). Beda dengan peradaban modeern hari ini, yang hanya bisa merasa bermakna dan merasa berbedaaketika berpikir (cogito). Sebagai mana ditegaskan oleh si Roo Deskerto (Rene Descartes) itu.

Para wali di tanah ini mengajarkan bahwa semakin mati, semakin ada. Comatio ergo sum, aku mati maka aku ada. Di dalam pelajaran tajwid, kita selalu diajarkan bahwa dengung atau tidaka dan bunyi atau tidak, ditentukan oleh ketika ada yang mati, yaitu nun, mim, dan tanwin. Mereka yang mati itu bisa menyertai atau masuk ke dalam qaf, ba, ya, alif, jim, ha, dal, dan huruf lainnya ketika mereka mati.

Gambar nisan Kyai Jejer sumber langgar.co

Demikian artikel Sejarah Kyai Jejer di Wonikromo semoga halaman ini dapat membantu dan memetik hikmahnya serta mendapat pengetahuan tentang sejaraha yanga ada di  Jojga dan sekitarnya tentunya yang ada di pleret dan masih banyak lagi sejarah-sejarah dan peninggalan- peninggalan yang berhubungan dengan Keagamaan wala khusus agama Islam, semoga artikel ini bermanfaat.    

Posting Komentar untuk "Sejarah Singkat Kyai Jejer Wnokromo Jejeran Pleret "